Kampung Adat Cikondang merupakan pemukiman etnis Sunda yang telah ditetapkan sebagai cagar budaya oleh pemerintah.
Kampung adat ini terletak di Desa Lamajang, Kecamatan Pangalengan, Kabupaten Bandung, Provinsi Jawa Barat.
Yuk, kenalan lebih dekat dengan kampung adat satu ini lewat sejarah dan beragam ciri khasnya!
Sejarah Kampung Adat Cikondang
Berdasarkan penuturan kuncen Kampung Cikondang, dulunya Kampung Adat Cikondang memiliki seke atau mata air yang ditumbuhi pohon besar bernama kondang.
Mata air itulah yang menjadi asal nama Cikondang, yaitu perpaduan antara “ci” dari “cai” yang berarti air, dan “kondang” yang mengacu pada nama pohon kondang.
Masyarakat setempat meyakini bahwa karuhun (leluhur) Cikondang adalah seorang wali yang menyebarkan agama Islam di daerah tersebut.
Mereka memanggilnya Uyut Pameget (buyut laki-laki) dan Uyut Istri (buyut perempuan) yang diyakini membawa bekah dan lindungan pada anak cucunya.
Tidak ada bukti tertulis tentang kapan keduanya membuka pemukiman Cikondang. Namun, seorang tokoh masyarakat memperkirakan bahwa Kampung Cikondang sudah ada sejak awal abad ke-19 atau sekitar tahun 1800an.
Karena itu, bisa dikatakan bahwa usia Cikondang kini sudah menginjak 200 tahunan.
Baca Juga: 9 Kolam Pemandian Air Panas Hits di Dekat Kota Bandung
Ciri Khas Kampung Adat Cikondang
1. Rumah Berusia 200 Tahun
Kampung Adat Cikondang terkenal dengan rumah adat khas Sundanya yang masih terjaga. Rumah-rumah panggung ini menghadap ke utara dan posisinya lebih tinggi dari rumah penduduk sekitar.
Rumah tersebut terbuat dari bambu, kayu, dan ijuk. Penggunaan bambu terlihat jelas pada dinding rumah, sebab rumah tradisional Sunda umumnya menggunakan dinding anyaman bambu (bilik).
Kayu dijadikan kerangka/penyangga rumah dan pintu, sedangkan ijuk sebagai penutup atap. Atap khas Sunda umumnya berbentuk pelana atau julang ngapak, dengan bagian kiri dan kanan yang melebar ke samping.
Alih-alih menggunakan paku, masyarakat di masa lampau menggunakan tali ijuk sebagai pengikat antar bagian.
Sebagai rumah adat yang masih dijaga kelestariannya, bangunan ini menyimpan banyak perkakas dari anyaman bambu serta peranti dapur yang masih tradisional.
Selain itu, ada juga sebuah keris kecil yang diletakkan di tengah-tengah pintu masuk, serta pigura-pigura dari anyaman di dinding. Pigura-pigura itu berisikan nama-nama silsilah Kampung Adat Cikondang dan para tetuanya.
Rumahnya sendiri terdiri dari dua kamar tanpa pintu yang biasanya ditutup dengan kain saja. Kamar pertama adalah tempat tidur juru kunci kampung, sedangkan kamar kedua—yang disebut goah—berfungsi sebagai tempat penyimpanan beras.
Selain kedua kamar tersebut, Rumah Adat Cikondang juga memiliki:
- ruang tengah yang menyatu dengan dapur untuk memasak nasi
- bale-bale untuk menyimpan bahan makanan
- area luar bale-bale untuk memasak selain nasi
Tidak jauh dari bale-bale, terdapat lumbung padi, lesung, bale paseban (tempat pertemuan), dan kamar mandi.
Kamar mandi itu terbuat dari anyaman bambu dan ijuk, sedangkan lantainya dari kayu. Bangunannya berdiri di atas sebuah empang luas yang berfungsi menampung kotoran.
2. Hutan Larangan
Tepat di belakang Rumah Adat Cikondang, kamu akan menjumpai Hutan Larangan dengan berbagai pantangan yang harus dipatuhi saat berkunjung.
Salah satunya, kamu harus melepas alas kaki saat memasuki hutan. Melangkah masuk pun harus dengan kaki kanan, serta keluar dengan kaki kiri.
Untuk bisa memasuki hutan ini, kamu tidak bisa datang pada hari Selasa, Jumat, dan Sabtu. Selain itu, pengunjung non-Muslim dan perempuan yang sedang haid juga tidak boleh masuk.
Pada masa lampau, Hutan Larangan berfungsi sebagai tempat penyimpanan benda-benda pusaka para wali sekaligus tempat persembunyian pada masa penjajahan.
Namun, benda-benda tersebut kini sudah dipindahkan ke dalam rumah dan tidak sembarang orang bisa melihatnya.
Hutan Larangan juga memiliki melati purba berusia sekitar 360 tahun. Saat mekar, ia akan menguarkan aroma wangi yang bisa tercium hingga seisi kampung.
Pohon dan tanaman yang ada di sana tidak boleh ditebang atau dipotong kecuali untuk keperluan rumah adat, seperti renovasi.
Selain itu, ada juga lima makam leluhur yang berlokasi di samping Hutan Larangan dan bisa dicapai dengan masuk sejauh sekitar 300 meter.
Baca Juga: Ayo Healing di 12 Tempat Camping Ciamik di Sekitar Bandung Ini!
3. Punya 45 Kuliner Tradisional
Kampung Adat Cikondang mempunyai 45 jenis makanan khas Sunda yang keaslian rasanya masih terjaga sampai sekarang, seperti:
- nasi tumpeng
- opak
- raginang
- kolontong
- teng-teng
- ampeang
- borondong
- wajit
- buntir
- angleng
- peuyeum
- kukuntir
- dodol
- rujak si madu (dari gula merah, pisang emas, nanas, dan kelapa)
Karena masyarakat setempat masih menjunjung tinggi tradisi dan budaya leluhur, mereka pun dilarang memakai peralatan elektronik seperti televisi, radio, kulkas, dan lainnya.
Proses memasak pun masih tradisional dengan hawu atau tungku. Peralatan makan juga tidak menggunakan bahan plastik, melainkan batok kelapa, seng, dan tanah liat. Penerangannya sendiri masih memakai lentera.
4. Pernah Kebakaran
Mulanya, Kampung Adat Cikondang terdiri dari 61 rumah tradisional. Namun, sekitar tahun 1942, terjadi kebakaran besar yang menghanguskan rumah-rumah berusia ratusan tahun itu hingga menyisakan satu rumah saja.
Tidak ada yang tahu persis bagaimana kebakaran bisa terjadi. Namun, timbul dugaan bahwa Kampung Cikondang dulunya pernah menjadi tempat persembunyian para pejuang yang ingin membebaskan diri dari Belanda.
Pihak Belanda kemungkinan mengetahui keberadaan mereka, lalu membumihanguskan kampung tersebut.
Rumah yang tersisa adalah rumah milik Bapak Anom Samsa yang berdiri di atas lahan seluas tiga hektare. Rumah tersebut hingga kini menjadi rumah adat bagi penduduk sekitar dan juga dikenal dengan nama Bumi Adat.
5. Ritual Wuku Taun
Kampung Adat Cikondang hingga kini masih mempertahankan ritual adat leluhurnya yang bernama Wuku Taun. Ritual ini berlangsung saat pergantian tahun baru Islam, tepatnya pada 15 Muharram.
Sebelum ritual berlangsung, penduduk setempat sudah melakukan persiapan sejak tanggal 1–14 Muharram. Para ibu-ibu biasanya akan menumbuk padi dengan lesung dan mulai memasak beragam camilan tradisional.
Nantinya, beras hasil tumbukan akan dimasak menjadi makanan tradisional lalu disuguhkan di puncak acara.
Hasil tani lainnya juga akan disiapkan menjelang pelaksanaan ritual, seperti buah-buahan yang ditumpuk di Bale Paseban.
Selain dirayakan oleh penduduk setempat, Wuku Taun juga kerap dihadiri para pejabat pemerintah dan wisatawan.
Ritualnya sendiri dilakukan di rumah adat. Ritual ini menjadi perlambang rasa syukur, ajang silaturahmi keluarga, serta pembersihan dari marabahaya atau bencana.
Dalam pelaksanaannya, masyarakat akan berkumpul untuk memanjatkan doa dan rasa syukur untuk menyambut tahun baru.
Setelah sesi ini selesai, para perempuan akan menyuguhkan beragam makanan tradisional lezat yang sudah disiapkan tadi. Makanan wajibnya adalah tiga jenis tumpeng, yaitu:
- tumpeng ketan dan ayam putih
- tumpeng beras putih dan ayam hitam
- tumpeng beras merah dan ayam hawuk (berbulu abu)
Masing-masing warna mengandung makna tersendiri, yaitu:
- putih berarti harus membersihkan hati
- hitam berarti harus mandiri atau inisiatif dalam bekerja
- hawuk berarti tidak boleh serakah, misal dalam urusan warisan dan mencari ilmu
Saat pelaksanaan upacara, tumpeng-tumpeng akan ditutup kain putih dan digelar di ruang tengah rumah adat. Tumpeng dan lauk ayam biasanya akan disajikan dalam wadah terpisah.
Satu piring seng akan berisi tiga jenis tumpeng dan satu piring lagi berisi sayur ayam. Untuk menyantapnya, kamu tidak boleh mencampurkan sayur ayam ke dalam piring tumpeng, melainkan dengan menyendokkan nasi ke kuah sayur ayam.
Baca Juga: Intip Keindahan Hutan Pinus Rahong yang Segar dan Asri!
Hal yang Perlu Diperhatikan Sebelum Berkunjung ke Kampung Adat Cikondang
Sebagai kampung yang masih memegang teguh tradisi dan adat leluhur, Kampung Adat Cikondang menerapkan sejumlah aturan yang perlu dipatuhi pengunjung.
Sama halnya dengan area Hutan Larangan, kamu juga perlu mengutamakan kaki kanan saat memasuki rumah adat dan keluar dengan kaki kiri. Ucapkan salam dan basmalah sebelum masuk.
Perempuan yang sedang menstruasi dilarang memasuki kawasan kampung adat, dan biasanya diperkenankan menunggu di bale-bale.
Karena ada masyarakat yang melakukan ziarah ke makam Uyur Pameget dan Uyut Istri, kunjungan hanya boleh dilakukan di hari-hari tertentu.
Kamu tidak boleh datang di hari Jumat, Sabtu, dan Selasa. Kunjungan hanya bisa pada hari Minggu, Senin, Rabu, dan Kamis. Kamu juga tidak boleh menginap pada malam Selasa dan malam Jumat.
Selain itu, kamu juga tidak boleh:
- buang air kecil ke arah selatan
- menginjak parko atau alas hawu
- duduk sembarangan
- mengangkat kaki
- duduk selonjoran (cara paling tepat adalah duduk dengan kaki dilipat ke belakang)
Kalau berencana datang dengan mobil, sebaiknya pikirkan matang-matang. Pasalnya, Kampung Adat Cikondang tidak memiliki tempat parkir dan jalan masuknya terbilang sempit.
Kamu akan melewati rumah-rumah warga sebelum akhirnya sampai di kampung adat. Terdapat petunjuk jalan dengan tulisan bahasa Indonesia dan aksara Sunda.
Jarak tempat ini dari Kota Bandung adalah sekitar 38 km atau 1,5 jam perjalanan melewati Kecamatan Banjar dan Cimaung.
Selama berkunjung, kamu akan didampingi seorang juru kunci yang menjelaskan asal-usul hingga seluk-beluk kampung.
Lepas Penatmu di Bobocabin Pangalengan!
Setelah seharian menjajal aktivitas seru di Kampung Adat Cikondang, Bobocabin Pangalengan adalah pilihan sempurna untuk melepas lelah.
Mengusung konsep futuristik lengkap dengan teknologi Internet of Things, teknologi canggih Bobocabin siap menemani tidurmu di antara sejuk dan tenangnya alam.
Agar semakin seru, kamu juga bisa memanfaatkan fasilitas api unggun serta peralatan BBQ yang tersedia
Yuk, unduh dulu aplikasi Bobobox di Play Store atau App Store untuk reservasi dan informasi lebih lanjut!
Foto utama oleh: kampung_cikondang via Instagram