Indonesia terkenal akan keberagamannya, termasuk keberagaman bahasa, budaya, serta agama dan kepercayaan. Terdapat enam agama resmi di Indonesia: Islam, Kristen Protestan, Katolik, Hindu, Buddha dan Konghucu. Selain itu, ada juga beragam kepercayaan lokal yang sudah ada sejak ratusan tahun lalu. Salah satunya adalah kepercayaan Marapu yang dianut sebagian besar masyarakat Sumba, Nusa Tenggara Timur.
Apa sebenarnya kepercayaan Marapu ini? Yuk, ketahui lebih lanjut serba-serbinya bersama Bob!
Kepercayaan Marapu
Seperti yang Bob bilang sebelumnya, Marapu adalah aliran kepercayaan dari tanah Sumba. Ajaran tersebut menerapkan sistem keyakinan untuk memuja roh para leluhur.
Dalam bahasa Sumba, kata Marapu berasal dari kata ma yang berarti ‘yang’ dan rappu yang merujuk pada sesuatu yang disembah, dihormati, atau didewakan. Lengkapnya, Marapu memiliki arti ‘yang dipertuan’ atau ‘yang dimuliakan’ dan mengacu pada para roh leluhur. Karena itulah agama yang mereka anut dinamai Marapu. Aliran keperceyaan asli Nusantara ini konon sudah ada sejak ratusan tahun lalu.
Seperti pemeluk agama lainnya, penganut kepercayaan lokal ini juga percaya bahwa kehidupan hanyalah sementara. Setelah meninggal, mereka akan pergi dari duia dan hidup kekal abadi di surga yang disebut Prai Marapu. Masyarakat menggambarkannya sebagai tempat yang sangat indah, yang menjadi lokasi berkumpulnya para arwah nenek moyang mereka yang telah tiada.
Baca Juga: Inilah 7 Tempat Wisata di Sumba Timur Wajib Dikunjungi, Serasa Warga Lokal!
Keyakinan Adanya Tuhan
Meski melakukan pemujaan pada roh nenek moyang, Marapu sebenarnya meyakini adanya Tuhan yang Maha Esa. Mereka percaya bahwa para roh leluhur memiliki kedekatan dengan Sang Pencipta sehingga bisa berkomunikasi langsung dengan-Nya.
Sang Pencipta dalam Marapu memiliki sebutan Wolu Tou Raibada. Secara harfiah, Wolu Tou Raibada memiliki arti ‘yang menciptakan manusia dan selain manusia’. Sang Pencipta tersebut disimbolkan dengan dua hal: Anakanisakedu (matahari) dan Anakanisawawi (bulan).
Dengan kata lain, masyarakat Sumba menganggap arwah leluhur yang telah meninggal sebagai perantara atau penghubung antara manusia dengan Tuhan. Mereka menyampaikan permohonan kepada Tuhan melalui arwah para leluhur dengan mengadakan upacara-upacara adat tertentu.
Menjaga Keseimbangan
Kepercayaan Marapu sebenarnya memiliki konsep yang universal, yaitu terjaganya tatanan dan keseimbangan alam semesta sebagaimana mestinya. Keseimbangan tersebut akan mendatangkan keselamatan, yang kemudian mendatangkan kebahagiaan.
Penganut Marapu meyakini bahwa kedekatan roh para leluhur dengan Sang Pencipta dapat memberikan keselamatan dan ketenteraman dunia. Seperti yang kamu tahu, hidup tidak selalu indah. Kehidupan juga kerap dilanda musibah, seperti bencana alam, paceklik, hingga wabah penyakit. Saat musibah terjadi, masyarakat Sumba beranggapan bahwa keseimbangan alam tengah terganggu.
Oleh karena itu, dalam rangka menjaga keseimbangan, mereka pun mengadakan upacara-upacara adat untuk memulihkan keseimbangan alam. Upacara adat ini juga untuk menjalin hubungan baik antara orang yang masih hidup dan yang sudah meninggal, begitu pula dengan Sang Pencipta.
Baca Juga: 10 Rekomendasi Makanan Khas Sumba, Unik dan Bikin Nagih!
Kampung Adat
Masyarakat penganut Marapu biasanya tinggal di kampung adat yang tersebar di empat kabupaten Pulau Sumba. Kabupaten tersebut meliputi Sumba Barat, Sumba Barat Daya, Sumba Tengah, dan Sumba Timur. Kampung-kampung ini ada yang berlokasi di dataran rendah, dan di atas perbukitan yang jauh dari keramaian.
Saat berkunjung, ucapan “Selamat Datang di Bumi Marapu” biasanya terlontar dari masyarakat yang menyambut kamu. Selain itu, mereka juga memiliki cara penyampaian salam yang tidak biasa. Jika biasanya orang memberikan jabat tangan atau pelukan sebagai bentuk salam, masyarakat Sumba menyampaikan salam dengan cium hidung, yang bagi orang yang tidak terbiasa tentunya tergolong intim.
Tempat Tinggal
Penduduk kampung adat Sumba biasanya tinggal di kampung adat yang terdiri dari sekumpulan rumah panggung kayu beratap alang-alang. Mereka hidup sederhana dengan memegang teguh tradisi, dan mengandalkan kegiatan bertani serta beternak sebagai sumber mata pencaharian.
Rumah dalam bahasa mereka disebut uma. Satu kampung adat biasanya memiliki beberapa uma kalada atau rumah besar yang sudah dibangun oleh nenek moyang pertama. Rumah itu kemudian dihuni secara turun-temurun oleh generasi selanjutnya.
Istilah untuk keturunan nenek moyang pemilik tanah adat itu adalah kabisu. Kepala suku kampung adat atau Rato biasanya hidup bersama istri dan anaknya di uma kalada. Sementara itu, rumah yang bukan termasuk uma kulada disebut ana uma, yaitu rumah biasa tempat tinggal penduduk kampung.
Keberadaan uma kalada sebenarnya merupakan cerminan dari kepercayaan Marapu. Rumah tersebut biasanya merupakan rumah besar dengan menara tinggi mencapai 10-30 meter. Ia terdiri dari tiga bagian, yaitu bagian kolong untuk ternak, bangunan utama untuk tempat tinggal, dan bagian menara sebagai tempat penyimpanan makanan, pusaka, serta harta benda warisan keluarga.
Bagian menara menyimbolkan dunia atas, yang oleh masyarakat diyakini sebagai tempat tinggal Marapu. Keberadaan menara juga melambangkan keharmonisan hubungan antara manusia dan Sang Pencipta.
Selain itu, ada juga empat tiang penopang dari kayu. Ini menyimbolkan sebuah keluarga yang terdiri dari ayah, istri, anak laki-laki, dan anak perempuan. Tiang-tiang tersebut menunjukkan fondasi yang harus dimiliki setiap rumah tangga masyarakat Sumba.
Baca Juga: Liburan ke Sumba? Ini 10 Oleh-Oleh Unik yang Wajib Kamu Beli!
Upacara Adat
Rumah-rumah ini biasanya berdiri mengelilingi sebuah pelataran yang kerap menjadi tempat untuk menggelar upacara adat atau ritual keagamaan. Masyarakat menyebutnya natara podu.
Saat upacara berlangsung, biasanya ada tarian yang menemani. Selain itu, masyarakat juga akan berkurban atau memberikan persembahan berupa kerbau, babi, ayam, kuda, atau apa pun yang mereka miliki. Masyarakat akan memotong hewan tersebut lalu mempersembahkan darahnya kepada roh leluhur.
Melalui persembahan tersebut, masyarakat mengharapkan imbalan berupa kemakmuran yang kemudian bisa menimbulkan keselamatan dan kebahagiaan. Selain itu, ritual ini juga menjadi waktu yang tepat untuk mendapatkan ramalan, sehingga masyarakat bisa mengetahui nasib serta tindakan baik dan buruk yang mereka lakukan.
Ritual Keagamaan
Salah satu ritual besar Marapu adalah Wulla Poddu, yang merupakan bulan suci bagi penganutnya. Bulan suci ini berlangsung antara Oktober-November.
Di bulan ini, pemeluk kepercayaan harus mematuhi sejumlah larangan. Larangan tersebut meliputi tidak boleh membangun rumah, mengadakan pesta apapun, berhubungan badan dengan pasangan, memperbaiki rumah terutama bagian atap, serta memukul gong dan menangis saat ada yang meninggal.
Selama bulan Wulla Poddu, penganut kepercayaan juga wajib berpuasa memakan daging anjing dan babi. Mereka hanya boleh menyantap sayur, daging ayam, dan nasi selama sebulan penuh.
Di bulan ini, masyarakat juga menggelar upacara adat dengan mempersembahkan ayam. Setelah penyembelihan, mereka akan membakar ayam-ayam yang terkumpul dengan jerami di depan rumah. Anak-anak hingga dewasa, laki-laki dan perempuan, semuanya berkumpul untuk mengolah daging ayam, mulai dari mencabuti bulu hingga membakarnya. Setelah itu, penduduk satu kampung pun bersukacita dengan makan-makan dan menari mengelilingi bebatuan suci Marapu.
Dalam ritual ini juga ada acara pembacaan nasib dan pengakuan dosa dengan cara membelah dada ayam. Ramalan nasib serta tindakan baik buruk seseorang akan tergambar di bagian usus. Jika ada urat berwarna merah, maka pemilik ayam berada dalam kondisi baik.
Ritual besar lainnya dalam kepercayaan Marapu adalah Pasola, yang memiliki arti perang adat damai. Sesuai namanya, suku-suku penganut Marapu akan berperang menggunakan kuda dan lembing kayu. Mereka akan berhadapan satu sama lain untuk saling melempar lembing ke arah lawan. Meski terdengar mengerikan, ritual ini merupakan momen perekat hubungan kabisu masyarakat Marapu. Umumnya, ritual Pasola ini berlangsung di awal musim tanam setiap tahunnya.
Pernikahan
Pernikahan dalam kepercayaan Marapu biasanya melibatkan seserahan (belise) dari calon pengantin laki-laki kepada calon pengantin perempuan. Belise ini tidaklah murah dan biasanya berupa puluhan hingga ratusan hewan, seperti kuda atau kerbau, yang bisa mereka cicil dan bayar bebas seumur hidup. Sebagian seserahan akan mereka mereka bawa saat acara lamaran, misal dengan membawa 20 ekor dulu serta perhiasan khas Sumba (mamule).
Setelah lamaran, pernikahan berlangsung keesokan harinya di kediaman perempuan. Untuk acara pernikahan tersebut, kedua belah pihak perlu menyiapakan juru bicara yang akan memberikan penjelasan jika suatu saat terjadi pertengkaran di rumah tangga mempelai. Setelah sah secara adat, sang istri pun langsung ikut ke rumah suami.
Bobocabin Ada di Sumba!
Sudah tahu belum, Bobocabin dari Bobobox kini ada di Sumba, Nusa Tenggara Timur! Hadir dengan dua tipe kabin, family dan deluxe, Boobocabin siap menemani liburanmu di tengah indahnya alam Sumba, tentu dengan balutan teknologi canggih khas Bobobox.
Liburan di tengah alam pun terasa mudah, aman, dan menyenangkan dengan kehadiran fasilitas seperti Smart Window, B-Pad, moodlamp, hingga Bluetooth speaker. Dan jangan khawatir soal masalah internet sebab Bobocabin sudah menyediakan Wi-Fi kencang untuk memperlancar semua kegiatan daring kamu.
Agar semakin seru, Bobocabin juga melengkapi diri dengan fasilitas campire & barbeque. Untuk reservasi dan informasi lebih lanjut, unduh dulu aplikasi Bobobox di sini, ya!
Foto utama oleh: exploresumba.com