sejarah jalan malioboro

Sejarah Jalan Malioboro, Jalannya Para Raja!

Sebagai pusat kota Yogyakarta, Malioboro terkenal sebagai surga oleh-oleh, belanja, dan kuliner.

Saat malam hari, kawasan ini semakin padat dan ramai dengan kehadiran wisatawan, pedagang, hingga para seniman musik, lukis, pantomim, dan lainnya.

Namun, sebelum menjadi ikon wisata Yogyakarta seperti sekarang ini, Malioboro telah melewati sejarah yang cukup panjang. Yuk, simak sejarah Jalan Malioboro berikut ini!

Sejarah Jalan Malioboro

Sejarah Jalan Malioboro

Sumber: Charles Breijer via jogjaprov.go.id

Sejarah Jalan Malioboro bermula setelah Perjanjian Giyanti pada 13 Februari 1755 yang memecah Kerajaan Mataram Islam menjadi Kesultanan Yogyakarta dan Kasunanan Surakarta. 

Dilansir dari berbagai sumber, Jalan Malioboro didirikan bertepatan dengan pendirian Keraton Yogyakarta.

Atas perintah Sri Sultan Hamengkubuwono I, pembangunan tersebut dimulai beberapa bulan setelah perjanjian.

Kala itu, Malioboro belum ramai. Ia berfungsi sebagai rajamarga atau jalan kerajaan, yaitu jalur masuk utama masuk ke Keraton untuk menyambut raja dan para tamu negara.

Gubernur jenderal dan pejabat tinggi Belanda lainnya juga kerap melewati jalan ini saat melakukan kunjungan resmi ke Yogyakarta.

Malioboro kemudian mulai ramai di tahun 1790 setelah pemerintah Belanda merampungkan pembangunan Benteng Vredeburg di ujung selatan jalan ini.

Selain benteng, mereka juga membangun Dutch Club atau Societeit de Vereeniging Djokdjakarta (1822), The Dutch Governor’s Residence (1830), lalu Javasche Bank (1879) dan Kantor Pos (1912).

Di awal abad ke-19 ini, pemerintah Hindia Belanda memang hendak membangun Malioboro sebagai pusat perekonomian dan pemerintahan.

Bobobox Maximum Comfort Banner

Malioboro pun berkembang semakin pesat, terutama karena aktivitas perdagangan antara orang Belanda dan pedagang Tionghoa.

Selain itu, sekitar tahun 1870-an, sentra ekonomi di Yogyakarta mulai berkembang seiring dengan terbitnya Undang-Undang Agraria.

Pada tahun tersebut, pemerintah Hindia Belanda menerapkan politik kolonial liberal atau politik pintu terbuka.

Hal tersebut memberikan kesempatan seluas-luasnya kepada pihak swasta untuk menanamkan modal. Namun, aturan kepemilikan tanah juga diperketat.

Dengan masuknya modal asing, pemerintah Belanda pun membangun banyak infrasturktur, seperti stasiun, bank, pusat perdagangan, dan sekolah.

Pembangunan stasiun (sekarang Stasiun Tugu Yogyakarta) yang rampung pada tahun 1887 membuat Jalan Malioboro terbagi menjadi dua.

Selanjutnya, di awal abad ke-20, jumlah pendatang di Yogyakarta semakin meningkat. Malioboro pun menjadi jalan pertokoan paling sibuk, hal yang masih bertahan hingga kini.

Dari jalanan sepi penuh pepohonan, Malioboro bertransformasi menjadi pusat perbelanjaan Yogyakarta yang selalu padat pengunjung.

Baca juga: 7 Toko Oleh-Oleh Khas Jogja yang Patut Kamu Kunjungi Saat Menginap di Bobobox Malioboro

Fakta-Fakta Menarik Jalan Malioboro

Fakta-Fakta Menarik Jalan Malioboro

Sumber: intisari.grid.id

Di balik ramainya Jalan Maliboro, ada beberapa fakta menarik yang mungkin belum kamu tahu.

1. Saksi Sejarah Serangan Umum

Sejarah Jalan Malioboro mencatat bahwa kawasan ini pernah menjadi saksi penting perjuangan kemerdekaan, termasuk peristiwa Serangan Umum 1 Maret 1949 yang dimenangkan pihak Indonesia.

Serangan ini termasuk peristiwa lanjutan dalam Agresi Militer Belanda II untuk merebut kembali wilayah RI. Belanda menargetkan Yogyakarta yang kala itu menjadi ibu kota Indonesia.

Setelah memukul mundur pasukan Belanda, tentara RI berhasil menguasai Yogyakarta selama enam jam.

Setelah itu, mereka mundur bertepatan dengan datangnya pasukan bantuan Belanda, yang mendapati tentara RI sudah tidak di tempat.

Dengan adanya peristiwa bersejarah ini, Jalan Malioboro pun kerap dijadikan tempat pawai tahunan pasukan garnisun Yogyakarta, yang diselenggarakan setiap 5 Oktober saat Hari Angkatan Bersenjata.

Selain selebrasi, terdapat pula monumen Serangan Umum 1 Maret di ujung Jalan Malioboro.

2. Penamaan Malioboro

Menurut sejarawan Inggris bernama Peter Carey yang fokus pada sejarah modern Indonesia, nama Malioboro berasal dari bahasa Jawa “maliabara”.

Kata tersebut merupakan serapan dari bahasa Sanskerta “malyabhara” yang diambil dari kata malya (bunga) dan bharin (mengenakan).

Secara harfiah, kata tersebut bisa diartikan menjadi ‘yang dihiasi bunga’.

Karena pengaruh pengucapan orang Jawa yang membaca “a” sebagai “o”, maka namanya berubah menjadi Malioboro.

Arti ‘yang dihiasi bunga’ ini konon berkaitan dengan masa lalu Keraton. Dahulu, Keraton kerap menggelar acara besar sehingga Jalan Malioboro pun dipenuhi banyak karangan bunga.

Namun, ada juga yang berpendapat bahwa penamaan Malioboro berasal dari gelar Jenderal John Churchill, Duke of Marlborough pertama dari Inggris.

Dalam kasus ini, kata Malioboro diyakini berasal dari kata “Marlborough”.

Namun, pendapat tersebut disanggah sebab Jalan Malioboro sudah ada sejak berdirinya Keraton Yogyakarta. Sri Sultan sendirilah yang menamai jalan tersebut.

Sedangkan, pendudukan Inggris di Hindia Belanda berlangsung sejak tahun 1811-1816, yakni 50 tahun setelah jalan tersebut berdiri dan digunakan untuk kepentingan seremonial.

3. Poros Garis Imajiner

Jalan Malioboro disebut-sebut sebagai poros garis imajiner Keraton Yogyakarta. Pembangunan jalan ini sendiri dulu menggunakan konsep penataan membujur dari arah utara ke selatan.

Jalan Malioboro dianggap sebagai sumbu imajiner yang menghubungkan Gunung Merapi, Keraton Yogyakarta (sebagai titik tengah), dan Pantai Parangkusumo.

Garis tersebut berpotongan tegak lurus dan terwujud dalam peta berikut:

  • Tugu Pal Putih, Jalan Margatama (Mangkubumi), dan Margamulya (Malioboro) di utara
  • Kraton Yogyakarta, Jl. DI. Panjaitan, dan Panggung Krapyak di selatan

Jika titik awal (Tugu) kamu lanjutkan terus ke utara, maka kamu akan bertemu Gunung Merapi. 

Sementara itu, jika kamu menarik garis lurus ke selatan dari Panggung Krapyak, maka kamu akan tiba di Pantai Parangkusumo dan Samudra Hindia.

4. Jalan Dua Arah

Setelah bertahun-tahun berfungsi sebagai jalan dua arah, Jalan Malioboro berubah menjadi satu arah pada tahun 1980-an.

Jalur satu arah ini dimulai dari jalan kereta api ke selatan hingga persimpangan nol kilometer.

Pada tahun tersebut juga terdapat iklan rokok Marlboor yang cukup mirip dengan nama Jalan Malioboro, sehingga menjadi daya tarik tersendiri bagi para penduduk dan orang asing di sana.

5. Keberadaan PKL

Meski kini sudah direlokasi, keberadaan PKL sangat identik dengan Jalan Malioboro.

Menurut budayawan Achmad Charis Zubair, Malioboro memang sudah identik dengan perniagaan sejak pertengahan atau menjelang akhir abad ke-18.

Warung pertama bahkan sudah ada di abad tersebut.

Kala itu, Patih Danureja selaku perdana menteri di Keraton Yogyakarta mengizinkan abdi dalem untuk membuka usaha di kawasan Malioboro.

Keberadaan pedagang terus berkembang setelah Perang Diponegoro (1825) dan semakin meningkat jumlahnya di awal abad ke-20.

Namun, keberadaan PKL alias pedagang kaki lima baru ada setelah kemerdekaan, tepatnya tahun 1970-an.

Kemunculannya didasari oleh pemahaman masyarakat bahwa Malioboro adalah pusat perekonomian yang bisa menjadi tempat berniaga untuk siapa saja.

Karena tidak memiliki lahan dan toko, maka para pedagang itu memanfaatkan ruang sempit di sepanjang Malioboro untuk membuka lapak.

Baca juga: 7 Tea House Yogyakarta, Rasakan Pengalaman Ngeteh Paling Autentik

Aktivitas Seru yang Bisa Kamu Lakukan di Kawasan Malioboro

Aktivitas Seru yang Bisa Kamu Lakukan di Kawasan Malioboro

Sumber: @_bani_1505 via Instagram

Berkunjung ke Jalan Malioboro adalah agenda wajib saat kamu berada di Yogyakarta. Lantas, apa saja yang bisa kamu lakukan selama berwisata di Malioboro?  

1. Mencoba Budaya Lesehan

Lesehan sudah lama menjadi ciri khas yang melekat kuat pada Jalan Malioboro.

Meski pemerintah setempat sudah merapikan kawasan Malioboro, kamu masih bisa mencoba budaya meleseh di warung makan Teras Malioboro 1, yaitu di depan Pasar Beringharjo.

Dengan kondisi yang lebih bersih dan tertata rapi, kamu bisa menikmati berbagai kuliner menarik khas Jogja, mulai dari gudeg, nasi kucing, sate ayam, mi godog, hingga wedang ronde.

2. Berburu Oleh-Oleh

Maliooboro terkenal dengan banyaknya pedagang kaki lima yang menjajakan aneka suvenir menarik, mulai dari pernak-pernik, pakaian, kain batik, hingga karya seni.

Sama halnya dengan pedagang lesehan, para PKL juga direlokasi ke Teras Malioboro 2 di sebelah Hotel Garuda.

Namun, jika ingin membeli barang-barang yang lebih berkualitas, kamu bisa mampir di toko-toko yang ada di sepanjang Jalan Malioboro.

3. Keliling Naik Andong hingga Skuter

Jika lelah berjalan, kamu bisa menjelajahi Malioboro naik andong, becak, atau skuter listrik. 

Andong adalah kendaraan roda empat yang cukup panjang dan besar sehingga cocok untuk dinaiki bersama keluarga, terutama pada malam hari.

Berkeliling naik becak juga tak kalah menarik. Kerap kali mangkal di kawasan Malioboro, para tukang becak siap membawa kamu keliling dan singgah di sentra oleh-oleh khas Jogja, seperti bakpia.

Sementara itu, skuter listriknya biasanya lebih digandrungi kawula muda untuk seru-seruan di kawasan wisata Malioboro.

5. Berburu Foto

Dengan penataan yang rapi dan Instagrammable serta kehadiran bangunan-bangunan sisa peninggalan masa lalu, kawasan Malioboro menjadi lokasi foto favorit yang sayang dilewatkan. 

Salah satu spot favorit foto-foto di sini adalah Istana Presiden Gedung Agung, Pasar Beringharjo, dan Benteng Vrederburg.

Baca juga: Mengenal 7 Budaya Jogja yang Jarang Diketahui

6. Mengunjungi Pasar Sore

Berlokasi di utara Benteng Vrederburg, Pasar Sore bisa kamu kunjungi mulai pukul 17.00 hingga malam hari.

Kawasan ini berisi deretan tenda kaki lima yang berjajar rapi menjajakan tas, sepatu, sandal, suvenir, gantungan kunci, kaos, baju dan celana batik, serta kuliner (termasuk bakpia).

7. Berjalan santai

Berkunjung ke Malioboro memberikan pengalaman berjalan santai yang sangat seru, terutama jika kamu menyukai aktivitas jalan kaki.

Lokasinya yang sangat strategis memungkinkan kamu untuk menelusuri jalan Malioboro dan menemukan beberapa spot wisata menarik di sekitarnya.

Mulai dari Keraton Yogyakarta, Benteng Vredeburg, Alkid alias Alun Alun Kidul, hingga titik nol kilometer, semuanya dapat kamu eksplor di sekitar area ini.

Untuk pengalaman yang lebih nyaman, disarankan untuk menjelajahi Malioboro pada pagi atau malam hari.

Waktu-waktu ini memberikan suasana yang lebih sejuk dan tenang, sementara siang hari terasa terik dan melelahkan.

Ayo, jadikan Malioboro destinasi berjalan santaimu dan temukan pesona-pesona menarik di setiap langkahmu!

8. Mengunjungi Taman Sari

Jika kamu ingin mengungkap sisa-sisa kehidupan bangsawan Jogja di masa lalu, Taman Sari adalah destinasi yang tak boleh dilewatkan.

Dengan berjalan kaki sekitar 10-15 menit dari kawasan Malioboro, kamu akan tiba di tempat ini. Di Taman Sari, kamu dapat merasakan atmosfer taman bekas Keraton Jogja yang dibangun pada masa pemerintahan Sultan Hamengkubuwono I.

Menyajikan kolam yang dipercaya sebagai tempat pemandian putri keraton pada zamannya, Taman Sari memperkaya pengalaman wisatamu dengan nuansa sejarah yang kental.

Ayo, jadikan Taman Sari tujuan berikutnya dan temukan keajaiban sejarah di setiap langkahmu!

9. Menikmati Malam di Alun-Alun Selatan

Setelah seharian menjelajahi Malioboro, jangan lewatkan kesempatan untuk menikmati malam di Alun-Alun Selatan.

Kawasan ini menjadi pilihan favorit para pengunjung yang ingin merasakan suasana malam Jogja dengan berbagai kegiatan menarik.

Mulai dari naik sepeda gembira, mengelilingi area dengan delman, hingga menikmati kuliner khas kota ini.

Suasana malam di Alun-Alun Selatan Jogja tidak hanya memberikan hiburan, tetapi juga kenangan yang tak terlupakan.

Ayo, tambahkan pengalaman istimewa dalam perjalananmu dengan menjelajahi keindahan malam di Alun-Alun Selatan!

Baca juga: 7 Rekomendasi Wisata Indoor Yogyakarta Saat Menginap di Bobobox Malioboro

Hotel Strategis di Tengah Wisata Malioboro

Hotel Strategis di Tengah Wisata Malioboro

Sumber: bobobox.com

Setelah seharian berwisata, Bobobox bisa menjadi pilihan sempurna untuk melepas lelahmu.

Hotel kapsul ini menawarkan lokasi strategis di tengah Kota Yogyakarta, tepatnya di Jl. Malioboro No.39, Sosromenduran, Gedong Tengen, Yogyakarta, DIY.

Masalah kenyamanan tidak perlu diragukan lagi. Interior pod yang cukup luas dengan kasur empuk pasti bikin kamu betah berleha-leha rebahan.

Nggak hanya itu, Bobobox juga dilengkapi berbagai fasilitas penunjang: seperti Bluetooth speaker, Wi-Fi, moodlamp, pantri, kamar mandi komunal, musala, dan area komunal.

Selain harganya terjangkau, kamu pun bisa berkesempatan menginap dengan harga promo lewat aplikasi Bobobox!

Dapatkan penginapan terbaik, kualitas ekslusif, dan harga terjangkau hanya di Bobobox. Unduh aplikasinya untuk reservasi dan informasi lebih lanjut.

Bobobox

Bobobox

Sejak tahun 2018, Bobobox hadir menawarkan pengalaman yang berbeda bagi para traveler untuk menikmati perjalanan yang sempurna. Bobobox menghubungkan traveler, dari pod ke kota.

All Posts

Bobobox

Rasakan sensasi menginap di hotel kapsul Bobobox! Selain nyaman, hotel kapsul ini mengedepankan teknologi dan keamanan. Bobobox bisa menjadi salah satu cara terbaik untuk menikmati perjalanan dan beristirahat, dan cocok untuk perjalanan liburan atau bisnis.

Top Articles

Categories

Follow Us

Latest Articles