Serupa Tapi Tak Sama, Ini Dia 7 Perbedaan Wayang Solo dan Jogja

Serupa Tapi Tak Sama, Ini Dia 7 Perbedaan Wayang Solo dan Jogja

Berkat lokasi yang berdekatan dan beragam kemiripan yang dimiliki keduanya, Solo dan Jogja mendapat julukan Kota Kembar. Kemiripan ini terutama tampak pada budaya dan adat Jawanya yang begitu kental.

Meski begitu, Solo dan Jogja ternyata memiliki perbedaan yang cukup signifikan, lho! Salah satunya adalah perbedaan kesenian wayangnya.

Apa saja perbedaan wayang Solo dan Jogja? Simak lebih lengkap di bawah ini!

7 Perbedaan Wayang Solo dan Jogja

7 Perbedaan Wayang Solo dan Jogja

Sumber: Pelangi Nusantara via Facebook

Orang awam mungkin beranggapan bahwa semua wayang itu sama saja, baik gagrak (aliran/model/gaya) Yogyakarta maupun Solo. Padahal, kenyataannya tidak demikian.

Berikut ini adalah perbedaan wayang Solo dan Jogja yang cukup kentara.

1. Bentuk Wayang

Bentuk Wayang

Sumber: kluban.net

Salah satu perbedaan wayang Solo dan Jogja terletak pada bentuknya.

Wayang Solo memiliki postur lebih jangkung dan lebih ramping. Selain itu, siten-siten (tanah penghubung kaki depan dan belakang) memiliki lebih dari satu warna.

Sementara itu, bentuk wayang Jogja umumnya lebih kekar. Bahu dan wajahnya lebih menunduk.

Wayang kulit Jogja juga memiliki kaki seperti orang menari, atau langkah lebar dengan posisi kaki belakang berjinjit atau berjingkat. Ini membuat wayang Jogja dinilai lebih ekspresif dan dinamis.

Selain itu, bagian kepala wayang Jogja juga tampak lebih besar, pundak lebih tinggi, dan roman mukanya tampak lebih sinis. Siten-sitennya biasanya berwarna merah polos.

Wayang Anoman

Sumber: kluban.net

Contoh perbedaan lain bisa dilihat dari wayang Anoman.

Pada gagrak Jogja, ia memiliki dua mata dan pundak yang lebih rendah, sehingga tampak menunduk. Sementara itu, gagrak Solo memiliki bentuk lebih tegak dan matanya hanya satu.

Baca Juga: 7 Toko Oleh-Oleh Khas Jogja yang Patut Kamu Kunjungi Saat Menginap di Bobobox Malioboro

2. Wajah

Wajah

Sumber: kluban.net

Kelompok wayang gagah (gagahan) seperti Bima, Gatotkaca, Duryudana, Jayadrata, Gandamana, dan Suteja biasanya sama-sama memiliki wajah berwarna hitam.

Namun, pada wayang Solo, terdapat guratan kumis tanpa diwarnai. Sedangkan, pada wayang Jogja, kumisnya berwarna merah.

Selain itu, jenggot wayang Solo juga hanya ada di bagian bawah dagu. Sementara di wayang Jogja, kumisnya mencapai pangkal telinga.

3. Hiasan

Hiasan

Sumber: kluban.net

Pada wayang bokongan Solo (dengan pakaian bagian bawah yang menggambarkan kedudukan tokoh wayang), seperti Raja, Nakula dan Sadewa, di bagian belakang sembuliyan-kerisannya (ikat pinggang tokoh wayang) terdapat hiasan berupa semacam bunga yang menjuntai.

Namun, di gagrak Jogja, kamu tidak akan menjumpai hiasan tersebut.

Dewi Kunti

Sumber: kluban.net

Perbedaan wayang Solo dan Jogja berikutnya ada pada penggambaran tokoh Dewi Kunti. Pada wayang Solo, kainnya menjuntai ke belakang, sementara di Jogja menjuntai ke depan.

Gandamana dan Antareja

Sumber: kluban.net

Selain itu, ada juga penggunaan praba atau aksesori punggung yang berbeda. Contohnya adalah tokoh Gandamana dan Antareja. 

Pada gagrak Solo, mereka tidak mengenakan praba, sementara gagrak Jogja memiliki praba. Lain halnya dengan tokoh Jayadrata dan Kartamarma—gagrak Solo justru mengenakan praba, sementara di Jogja tidak.

Baca Juga: Nginap di Bobobox Slamet Riyadi? Sempatkan Mampir ke 7 Tempat Wisata Ikonik Solo Ini

4. Sumber

Sumber

Sumber: Raden Ngabei Ranggawarsita via Wikipedia

Perbedaan wayang Solo dan Jogja berikutnya adalah sumber ceritanya.

Pada wayang Solo, ceritanya mengambil rujukan dari Serat Pustakaraja karya Ranggawarsita. Sementara itu, cerita dalam wayang Jogja bersumber dari Serat Purwakandha karya HB V.Bobobox Maximum Comfort Banner

5. Penggunaan Keprak/Kecrek

Penggunaan Keprak

Sumber: quora.com

Keprak merupakan salah satu peralatan yang menimbulkan bunyi di pagelaran wayang kulit. 

Alat ini berupa lempengan besi atau perunggu, digantungkan dengan tali pada sisi kotak wayang di tempat dalang duduk di depan kelir.

Dalang akan memainkan alat tersebut dengan pemukul dari logam (cempala) yang dijepit di jari kaki kanan.

Kehadiran bunyi itu bertujuan untuk mengiringi dan memantapkan gerakan wayang saat berjalan, berlari, menari atau perang tanding.

Keprak

Sumber: quora.com

Pada wayang Solo, keprak biasanya terdiri 4-6 lempeng besi tanpa kayu dan cempala kaki. Keprak ini menghasilkan bunyi “crek crek crek”.

Sementara itu, pada wayang Jogja, jumlah keprak biasanya lebih sedikit: satu lempeng kayu tebal dan satu lempeng besi dengan cempala dari besi. Bunyi yang dihasilkan adalah “ting ting ting”.

6. Komposisi Pakeliran (Pewayangan/Pedalangan)

Komposisi Pakeliran

Sumber: pariwisatasolo.surakarta.go.id

Pakeliran Solo umumnya lebih menitikberatkan pada sabetan (ekspresi dalang lewat gerak wayang) daripada storytelling-nya. Oleh karena itu, adegan perang pun lebih menonjol. 

Kecenderungan ini berkaitan dengan proporsi tubuh wayang Solo yang lebih proporsional, sehingga lebih mudah dimainkan daripada wayang Jogja.

Karena lebih menekankan sabetan, maka porsi dialog pewayangan Solo pun lebih sedikit.  

Sebaliknya, pakeliran Jogja justru lebih mengutamakan storytelling daripada sabetan.

Dengan begitu, adegan yang ditampilkan menjadi lebih banyak, dan ceritanya lebih mudah dipahami jika kamu mendengarkan dari radio.

7. Penokohan

Penokohan

Sumber: wayangstore.com

Perbedaan lain yang cukup signifikan adalah ketiadaan tokoh Raden Antasena di pewayangan Solo. Dalam pewayangan Jogja, Raden Antasena adalah anak Raden Werkudara (Bima) dan Dewi Urang Ayu.

Bima sendiri merupakan bagian dari Pandawa yang dalam gagrak Jogja memiliki tiga istri, yaitu Nagini, Arimbi, dan Dewi Urang Ayu.

Pada wayang Jogja dan Solo, Nagini sama-sama berputrakan Raden Antareja, sedangkan Arimbi berputrakan Raden Gatotkaca.

Namun, Dewi Urang Ayu yang memiliki putra Raden Antasena hanya ada di gagrak Jogja. Sementara itu, di pewayangan Solo, Antasena adalah nama lain Raden Antareja.

Baca Juga: Mengenal Ragam Macam Arti Filosofi Dibalik Batik Solo

Kesenian Unik Asli Solo: Wayang Orang Sriwedari

Kesenian Unik Asli Solo: Wayang Orang Sriwedari

Sumber: Rama Wijaya via Google Maps

Apa Itu Wayang Orang Sriwedari?

Wayang orang Sriwedari adalah pertunjukan teater tradisional Jawa yang menggabungkan seni drama budaya Barat dan pertunjukan wayang Jawa.

Pertunjukan ini tidak memakai peraga boneka atau wayang kulit, melainkan diperankan oleh orang asli. Para pemeran mengenakan riasan serta kostum menyerupai tokoh pewayangan.

Cerita wayang orang biasanya mengangkat kisah-kisah pewayangan dari Mahabharata atau Ramayana.

Tokoh Punakawan yang menggambarkan kehidupan rakyat kecil juga sesekali ditampilkan sebagai pencair suasana.

Sejarah Singkat

Wayang Orang Sriwedari termasuk salah satu tradisi tersohor Kota Solo yang masih terjaga hingga kini.

Pertunjukan biasanya digelar di kompleks Pura Mangkunegaran. Namun, pada tahun 1896, terjadi krisis ekonomi yang membuat para pemain dirumahkan.

Walau begitu, mereka tetap melakukan pertunjukan keliling dari kampung ke kampung.

Pada 1911, barulah Wayang Orang Sriwedari (WOS) dibentuk oleh para pegiat budaya Kota Solo.

Mulanya, komunitas ini melakukan pertunjukan di Taman Sriwedari untuk menghibur para bangsawan keraton.

Komersialisasi kemudian mulai dilakukan pada 1922, dan pertunjukan pun semakin populer hingga mencapai masa keemasan pada tahun 1960-1970an.

Dengan meningkatnya popularitas WOS, dibangunlah gedung permanen pada tahun 1928-1930 dengan kapasitas sekitar 500 penonton.

Pembangunan kembali berlanjut pada 1951 sehingga gedung bisa menampung 1.000 penonton.

Meski mengalami pasang surut di tahun 1980-an, WOS bangkit kembali setelah era Reformasi. Hingga pada 1999, mereka mendapat perhatian khusus dari pemerintah.

Jumlah pemain bertambah dan kesejahteraan juga terjamin, sebab mereka mendapat status sebagai pegawai Pemerintah Kota Surakarta.

Jadwal Pertunjukan

Banyak orang menganggap WOS sebagai paket komplit. Sebab, pertunjukan ini melibatkan seni tari, musik, pedalangan, dan drama.

Karena dukungan dari pemerintah, WOS pun bisa bisa bertahan hingga kini dan rutin menggelar acara.

Salah satu favorit penonton adalah babak “Gara-gara”, yang menampilkan kelucuan empat tokoh Punakawan.

Kamu bisa menyaksikannya setiap hari Senin-Sabtu pukul 20.30 di Gedung Wayang Orang Sriwedari. Tempat ini berada di Jalan Kebangkitan Nasional No. 15.

Kamu bisa membeli tiketnya di loket mulai pukul 19.30 dengan harga Rp10.000 .

Bobobox: Hotel Strategis di Tengah Kota Budaya

Hotel Strategis di Tengah Kota Budaya

Punya rencana liburan di Solo sambil menonton Wayang Orang Sriwedari? Siapkan akomodasi strategis agar kamu bisa sampai dalam hitungan menit saja.

Salah satunya adalah Hotel Kapsul Bobobox di Jalan Slamet Riyadi No.96, Keprabon, Banjarsari, Surakarta, Jawa Tengah.

Dapatkan penginapan terbaik, kualitas eksklusif, dan harga terjangkau hanya di Bobobox. Unduh aplikasinya untuk reservasi dan informasi lebih lanjut.

Bobobox

Bobobox

Sejak tahun 2018, Bobobox hadir menawarkan pengalaman yang berbeda bagi para traveler untuk menikmati perjalanan yang sempurna. Bobobox menghubungkan traveler, dari pod ke kota.

All Posts

Bobobox

Rasakan sensasi menginap di hotel kapsul Bobobox! Selain nyaman, hotel kapsul ini mengedepankan teknologi dan keamanan. Bobobox bisa menjadi salah satu cara terbaik untuk menikmati perjalanan dan beristirahat, dan cocok untuk perjalanan liburan atau bisnis.

Top Articles

Categories

Follow Us

Latest Articles