Warisan budaya pertambangan batu bara membuat Sawahlunto di Sumatra Barat berkembang menjadi kota wisata dan bagian dari sejarah. Pertambangan di daerah itu kini diakui sebagai warisan budaya dunia. Pada 6 Juli 2019 kawasan tambang batu bara di Sawahlunto ditetapkan sebagai warisan budaya dunia oleh Organisasi Pendidikan, Keilmuan, dan Kebudayaan Perserikatan Bangsa-Bangsa (UNESCO).
Sejarah pertambangan batu bara di Sawahlunto diawali oleh penemuan dan pengusahaan Pemerintah Kolonial Belanda yang membangun infrastruktur di daerah tersebut dengan tenaga kerja paksa. Pemerintah Belanda menggunakan beberapa tenaga kerja paksa dan tenaga kontrak dari berbagai suku bangsa. Setelah Belanda tumbang kemudian tambang yang semula dikuasai oleh Belanda berpindah ke tangan Jepang sejak 1942 sampai 1945.
Setelah Indonesia menyatakan kemerdekaan pada tahun 1945, tambang dengan nama “Little Dutch” atau Belanda Kecil itu berada di bawah kepemimpinan administratif Indonesia. Pada awalnya tambang batu bara berada di bawah pengelolaan Direktorat Pertambangan. Kemudian berpindah tanggung jawab pengelolaannya dan dipegang oleh badan usaha milik negara Bukit Asam. Kegiatan pertambangan di Sawahlunto sudah diakhiri beberapa tahun lalu.
Sawahlunto kini berubah menjadi kota tua yang menawarkan kamu wisata sejarah dengan berbagai bangunan era kolonial Belanda. Kantor PT Bukit Asam yang dibangun pada 1916 serta gedung Museum Gudang Ransum dan Museum Kereta Api Sawahlunto menyuguhkan informasi sejarah seputar sejarah perkembangan tambang batu bara tertua di Asia Tenggara ini.
Wisata Sejarah
Saat kanu berkunjung ke sini kmu akan menemukan Lubang Mbah Suro. Lubang Mbah Suo merupakan bekas tambang batu bara Belanda yang namanya diambil dari nama seorang mandor pekerja paksa zaman Belanda. Sawahlunto juga memiliki beberapa situs yang memperlihatkan kecanggihan teknologi pertambangan kolonial. Beberapa kecanggihan teknologi tersebut diantaranya adalah silo atau tempat penyimpanan batu bara yang berada tidak jauh dari Museum Kereta Api Sawahlunto.
Jika kamu perhatikan dengan seksama keberadaan silo dan Museum Kereta Apu Sawahlunto ini berjarak berdekatan. Faktanya kedekatan antara silo dan museum itu bukan tanpa alasan. Museum itu dulunya adalah stasiun kereta api yang menjadi titik pertama pengangkutan hasil tambang batu bara untuk selanjutnya dibawa ke pelabuhan di Kota Padang.
Warisan Budaya; Mak Itam
Ketika Tambang Batubara di Sawahlunto resmi menjadi warisan dunia UNESCO, tidak hanya Kota Sawahlunto yang mendapatkan sertifikat dari badan Perserikatan Bangsa-Bangsa. Enam kota dan kabupaten lain yang dilewati kereta pengangkut batu bara juga mendapatkannya.
Selanjutnya Bob ingin memperkenalkan kamu ke pada salah satu lokomotif legendaris yang berada di Sawahluno bernama Mak Itam. Lokomotif uap legendaris ini bertugas membawa gerbong berisi batu bara. Saat masih beroperasi lokomotif ini sering digunakan melewati wilayah Kabupaten Solok, Kota Solok, Kabupaten Tanah Datar, Kota Padang Panjang, Kabupaten Padang Pariaman, dan Kota Padang.
Masyarakat Minangkabau lah yang memberikan julukan Mak Itam atau Paman Hitam pada lokomotif keluaran Eropa ini. Pasalnya badan lokomotof ini berwarna hitam dan mengeluarkan asap pekat. Lokomotif ini mulai digunakan untuk mengangkut batu bara sejak kemerdekaan Indonesia pada tahun 1945. Pada tahun 1970-an Sawahlunto bahkan mampu memproduksi sejuta ton batu bara per tahunnya!
Wisata sejarah memang mengasyikan! Tertarik untuk mengunjunginya? Kemana pun kamu pergi berlibur pastikan akomodasi yang kamu pilih senyaman Bobobox! Hotel berkonsep kapsul ini memiliki aplikasi Bobobox yang bisa kamu unduh untuk mendapatkan informasi lengkap mengenai hoteld an promonya. uk unduh sekarang juga!