Berlokasi di Jalan Cendrawasih, Gedung Marabunta terbilang unik dan menonjol berkat kehadiran dua patung semut merah raksasa di kedua sisi atapnya.
Sejalan dengan keberadaan Kota Lama, bangunan gaya Eropa ini juga lahir dari masa pendudukan Belanda. Berikut ini adalah sejarah singkatnya.
Sejarah Gedung Marabunta Semarang
Gedung Marabunta, yang sebelumnya dikenal sebagai Gedung Schouwbrug, memiliki sejarah yang mencakup era pembangunan kota Semarang setelah pembongkaran benteng Kota Lama pada tahun 1824.
Menurut para arkeolog Balai Arkeologi, gedung ini didirikan sejalan dengan pengembangan kawasan permukiman di Kota Semarang dan jalan pos Daendels.
Tujuan awal pembangunan gedung ini adalah untuk menyediakan tempat hiburan bagi para penghuni kawasan Kota Lama Semarang, yang pada waktu itu didominasi oleh warga Eropa.
Di masa kolonialisme Belanda, Gedung Marabunta sering menjadi panggung untuk pertunjukan komedi Stamboel.
Stamboel, kata serapan dari Istambul, merujuk pada nama kota di Turki, dan merupakan teater sandiwara keliling mirip sirkus yang diadopsi di Hindia Belanda. Seiring popularitas Komedi Stamboel, nama jalan di depan gedung akhirnya juga dikenal sebagai Komedistraat.
Selain komedi, Gedung Marabunta juga menjadi tempat pertunjukan musik, lagu-lagu dari musisi terkenal, dan beragam tarian, mulai dari tari tradisional hingga tarian erotis.
Kunjungi Gedung Marabunta dan saksikan jejak sejarahnya yang kaya akan seni dan hiburan.
1. Tempat Hiburan Warga Eropa
Menurut sejarawan Kota Semarang, Djawahir Muhammad, sebelum dikenal dengan nama Marabunta, Gedung Marabunta Semarang memiliki nama Stadsschouwburg.
Dalam bahasa Belanda, kata tersebut berarti gedung teater atau pertunjukan kota.
Kapan tepatnya pembangunan Stadsschouwburg, tidak ada catatan yang pasti. Namun, dalam rekaman peta Kota Lama Semarang tahun 1866, Stadsschouwburg sudah berdiri.
Berdasarkan prasasti yang ada di lokasi, Stadsschouwburg kemungkinan berdiri pada tahun 1854.
Selain itu, dilansir dari festivalkotalama.com, para arkeolog memperkirakan pembangunan gedung berlangsung setelah pembongkaran benteng Kota Lama pada tahun 1824.
Hal tersebut bersamaan dengan pengembangan kawasan permukiman di Kota Semarang dan jalan pos Daendels.
Tujuan pembangunannya sendiri adalah sebagai tempat hiburan bagi warga Eropa yang mendominasi pemukiman di Kota Lama Semarang.
Layaknya, gedung pertunjukan zaman sekarang, Gedung Marabunta Semarang juga dilengkapi dengan “area parkir”, alias istal di seberang gedung.
Istal ini berfungsi sebagai tempat parkir kuda, yang di masa lampau menjadi moda transportasi andalan orang Eropa.
Dengan kapasitas ratusan orang, Stadsschouwburg kerap kali mementaskan Komedie Stamboel, yaitu pertunjukan teater sandiwara keliling bergaya Istanbul, Turki.
Pertunjukan itu berkembang luas di daratan Eropa dan kala itu hadir memenuhi kebutuhan hiburan Hindia Belanda.
Selain genre komedi, Stadsschouwburg juga kerap menampilkan musik dan lagu dari para penyanyi dan musisi terkenal. Terdapat pula berbagai tarian, mulai dari tarian tradisional hingga erotis.
Baca Juga: Yuk, Wisata Sambil Belajar Sejarah Kota Semarang di 7 Spot Berikut Ini!
2. Penari Legendaris, Mata Hari
Gedung Marabunta disebut-sebut pernah menjadi salah satu panggung bagi penari erotis legendaris sekaligus mata-mata Perang Dunia, Mata Hari.
Terlahir dengan nama Margaretha Geertruida Zelle di Leeuwarden, Belanda pada 7 Agustus 1876, Mata Hari sudah menikah di usia 19 tahun dengan perwira militer Belanda, Rudolf Macleod yang berusia 21 tahun lebih tua.
Setelah sembilan tahun pernikahan, keduanya berpisah. Margaretha kemudian pindah ke Paris dan menjadi simpanan seorang diplomat.
Setelah itu, ia memutuskan untuk menjadi penari erotis dengan nama panggung Mata Hari yang diambil dari bahasa Melayu.
Dengan penampilan sensual, Mata Hari tidak butuh waktu lama untuk menjadi penari terkenal.
Sayangnya, ia harus jatuh ke dalam lembah prostitusi lalu terlibat spionase selama Perang Dunia I, hingga akhirnya dihukum mati oleh regu tembak Perancis.
Di masa kejayaannya, Mata Hari konon pernah memeriahkan panggung Stadsschouwburg. Namun, faktanya tidaklah begitu.
Berdasarkan penuturan ahli cagar budaya dan pegiat sejarah Semarang, Tjahjono Rahardjo, Mata Hari memang pernah menyambangi Semarang pada tahun 1800-an sebagai istri Macleod.
Kala itu, ia belum berstatus sebagai seorang penari. Usai kembali ke Belanda, tak lama mereka bercerai dan setelah itu, Margareth tidak pernah menginjakkan kakinya lagi di tanah Jawa.
3. Pasca Kemerdekaan
Memasuki masa penjajahan Jepang, nasib Schouwburg sungguh memprihatinkan. Karena tidak lagi terpakai, gedung pun menjadi terbengkalai dengan kerusakan di sana-sini.
Dikutip dari artikel jurnal “Kajian Ikonografi pada Gedung Marabunta di Semarang” oleh Lois Debora, pasca-kemerdekaan, Yayasan Empat Lima mengambil alih gedung tersebut.
Kemudian, pada 29 Agustus 1956, mereka meresmikannya sebagai markas. Namun, karena faktor usia dan bencana air rob, bangunan Schouwburg pun roboh pada 1994.
Yayasan Rumpun Diponegoro kemudian mengambil alih pengelolaan gedung, dan melakukan rekonstruksi dari sisa-sia bangunan yang berhasil diselamatkan.
Mereka tetap mempertahankan bentuk asli bangunan, terutama interior gedungnya, dengan menambahkan beberapa sentuhan gaya nasionalis.
Beberapa interior asli bangunan lama kembali digunakan di area hall gedung baru, seperti desain plafon yang menyerupai lambung kapal terbalik dan terbuat dari material kayu asli Stadsschouwburg.
Proses rekonstruksi rampung pada 31 Mei 2006 dan mereka menamainya Marabunta Gedung Multiguna.
Tampak depan, bangunan menunjukkan desain baru yang berbeda dengan desain asilnya. Namun, desain ini tetap menyesuaikan dengan gaya bangunan khas Eropa di sekitarnya.
Kata Marabunta sendiri berasal dari nama jenis semut tentara asal Afrika Selatan. Dengan ukuran 4-12 mm per ekor, semut ini hidup berkoloni hingga dua juta ekor untuk menyerang mangsa berukuran besar.
Pemilihan nama tersebut berkaitan dengan latar belakang Rumpun Diponegoro yang menjadi wadah Tentara Nasional Indonesia (TNI) di wilayah Jawa Tengah.
Nama tersebut bisa merepresentasikan karakter anggota TNI. Meski masing-masing individu tidak memiliki kekuatan besar, mereka bisa bersatu dan bergotong royong demi kemenangan besar.
Penggunaan warna merah pada patung semutnya juga melambangkan kegagahan dan keberanian anggota TNI.
Selain itu, pose patung dalam keadaan siap menyerang ibarat para tentara yang siap siaga menghadapi ancaman dalam kondisi apa pun.
Baca Juga: 7 Tempat Wisata Wajib Masuk To-Do List Dekat Bobobox Kota Lama, Semarang
Menatap Sejarah di Marabunta Resto & Bar
Tak hanya berganti nama, bangunan yang mulanya adalah teater hiburan kini beralih fungsi.
Gedung Marabunta, di bawah penanganan PT Marabunta Semarang, kini menjadi gedung serbaguna yang bersifat publik komersil.
Bagian depan gedung berfungsi sebagai hall, sementara bagian belakangnya adalah kantor untuk PT Marabunta.
Sebelum tahun 2006, Marabunta sebenarnya pernah dijadikan kafe pada tahun 1999. Kafe itu pun menjadi persinggahan favorit bagi para importir asing yang bertandang ke Semarang.
Sayangnya, kafe tersebut bertahan dua tahun saja karena situasi ekonomi di masa itu.
Sejak berdiri tahun 2006 hingga pertengahan 2015, Gedung Marabunta tidak terbuka untuk umum.
Namun, di tahun 2015, masyarakat akhirnya bisa melihat kemegahan arsitektur bangunan itu, sebab Marabunta telah disulap menjadi MGM Cafe & Gallery.
Selain kafe, gedung itu juga kerap disewakan untuk acara-acara tertentu, seperti pernikahan, konser, hingga pementasan seni budaya.
Memasuki Desember tahun 2020, Marabunta masih berfungsi sebagai kafe, tapi berganti menjadi Marabunta Resto & Bar yang khas dengan nuansa vintage-nya.
Restoran ini pun menjadi tempat favorit untuk fine dining sambil menatap sejarah masa lampau.
Baca Juga: 15 Oleh-Oleh Khas Semarang yang Paling Terkenal
1. Nuansa Masa Lalu yang Kental
Marabunta Resto & Bar merupakan sebuah restoran dengan tampilan elegan dan berkelas, yang kian lengkap dengan nuansa vintage dan Eropa yang kental.
Dari luar saja, kamu sudah disambut pilar-pilar besar berwarna putih, hiasan kaca patri pada jendela, serta pintu masuk besar berwarna coklat khas Belanda.
Tampak dalam, pemandangan Marabunta makin memukau. Resto ini mempertahankan fungsi bangunan di masa lampau sebagai tema utama restoran.
Pengunjung seolah tengah berwisata ke masa kejayaan Stadsschouwburg sebagai tempat hiburan warga Eropa.
Tempat makan tersebut memang dibuat seperti ruang pertunjukan, menghadirkan panggung kecil sebagai area live music untuk menemani pengunjung yang tengah bersantap.
Nuansa teaternya semakin kental dengan tambahan mini balkon di atas panggung, serta dekorasi tirai sebagai background.
Langit-langitnya yang tinggi juga tak kalah mengagumkan, apalagi dengan bentuknya yang seperti perahu terbalik dan tersusun dari kayu coklat warisan gedung Stadsschouwburg.
Tidak ketinggalan juga kehadiran kaca patri bergambar noni Belanda yang tampak usang, seolah mempertegas kesan masa lalu dan historis pada bangunan restoran.
Pencahayaannya pun didominasi oleh warna kuning yang membuat suasana mewah begitu kental terasa.
2. Cozy dan Nyaman
Tak hanya mengandalkan desain interior dan sisi historisnya, Marabunta Resto & Bar tetap memberikan pelayanan yang baik dan profesional kepada pengunjung.
Suasananya nyaman, cozy, bersih, dan sangat cocok untuk kamu yang sedang mencari tempat fine dining.
Alunan live music dari berbagai genre—pop, romantis, hingga klasik—senantiasa menemani, sehingga momen bersantap dan nongkrong bareng pun jauh dari kata bosan.
Di samping itu, menu makanan dan minumannya juga tak kalah menarik.
Menu yang tersedia adalah menu makanan lokal hingga western, yang terbagi menjadi kategori tapas, appetizer, main (poultry, steak, meat, seafood, rice, pasta, dan noodle), serta dessert.
Pilihan minuman pun tak kalah beragam. Kamu bisa mencoba healthy juice, aneka teh dan kopi, cokelat dan milkshake, mocktail, air putih, soft drink, bir, hingga wine.
Harganya mungkin terbilang pricey, tapi sebanding dengan kualitas dan rasa yang akan kamu dapatkan.
Untuk menu makanan, harganya mulai dari Rp40.000-Rp1.300.000. Sedangkan, menu minuman ada di rentang Rp20.000-Rp1.550.000.
Baca Juga: Semarang Zoo: Salah Satu Destinasi Wisata Edukasi Terbaik di Semarang!
Hotel Modern di Tengah Wisata Masa Lalu
Sebagai wisata populer, Kota Lama Semarang menyediakan beragam pilihan hotel yang memberimu kenyamanan modern di tengah wisata masa lalu.
Salah satunya adalah Bobopod Kota Lama, yang telah dilengkapi berbagai fasilitas canggih.
Masalah kenyamanan, tidak perlu kamu ragukan lagi. Yuk, unduh aplikasinya di ponselmu sekarang!
Foto utama oleh: