Kain tradisional termasuk salah satu warisan budaya Indonesia yang melimpah. Dari Sabang sampai Merauke, kamu akan menjumpai beragam jenis kain tradisional dengan keindahan dan karakteristik tersendiri.
Nah, salah satu kain tradisional yang belum diketahui banyak orang adalah kain khas Manado yang bernama kain bentenan. Unik dan cantik, kain satu ini rupanya memiliki sejarah panjang.
Penasaran akan keunikan dan sejarah kain bentenan? Inilah ulasan lengkapnya.
Keunikan Kain Bentenan, Kain Khas Manado
Kain bentenan merupakan kain khas tanah Minahasa alias Sulawesi Utara yang bisa kamu jumpai di Manado. Sama seperti kain tradisional Indonesia lainnya, bentenan juga memiliki beragam motif yang unik.
Kain ini terdiri dari tujuh motif:
1. Tonilama
Motif tonilama berasal dari kata “lamek” yang berarti tanpa titik dan garis layaknya permukaan daun muda pohon enau. Kainnya putih polos tanpa pewarna apa pun sehingga warnanya merupakan warna asli kapas.
2. Kaiwu Patola
Motif kaiwu patola memiliki kemiripan dengan kain patola asal India.
3. Pinatikan
Pinatikan disebut-sebut sebagai kain tenun pertama Minahasa. Pinatikan berasal dari kata “pantik” yang berarti titik-titik dan garis-garis kecil serta bunga-bunga kecil. Motifnya seperti jalan dan berbentuk segi enam.
4. Tinonton Mata
Motif tinonton mata merupakan motif gambar laki-laki dengan satu titik di tubuh dan perempuan dengan titik di tubuhnya. Satu titik menyimbolkan pusar dan dua titik sisanya adalah payudara.
5. Tinompak Kuda
Motif tinompak kuda berasal dari kata “sempak” dan memiliki arti muncul atau berulang. Motif ini berupa simbol lain selain manusia, seperti pakis hutan dan ekor ikan.
6. Kokerah
Kokerah terbilang unik, yaitu motif bunga warna-warni dengan sulaman manik-manik dan butiran emas sebesar padi. Pembuatannya menggunakan teknik menyulam dengan benang khusus.
7. Sinoi
Sinoi ditenun tanpa motif dan biasanya berwarna polos. Misalnya, jika menggunakan warna merah, maka kain akan polos merah tanpa motif. Kainnya juga bisa saja berwarna biru, hitam, kuning, atau warna lainnya. Selain itu, ada juga yang berupa garis-garis seperti kain lurik Jawa.
Dari ketujuh motif tersebut, tinonton mata dianggap sebagai kain yang bernilai paling tinggi sebab digunakan untuk upacara. Kain ini juga menjadi simbol leluhur pertama masyarakat Minahasa, Toar-Lumimuut.
Sementara itu, kain dengan nilai tinggi sebagai alat tukar adalah motif kaiwu patola.
Baca Juga: 20 Pilihan Oleh-Oleh Khas Sulawesi yang Unik dan Lezat
Sejarah Kain Bentenan
Kain bentenan memiliki sejarah cukup panjang sebagai salah satu wastra tradisional orang Minahasa. Sempat punah hingga 200 tahun lebih, berikut ini adalah sejarah kain khas Manado yang menarik untuk ditelusuri.
1. Kain Sakral di Masanya
Sejak kapan kain bentenan ada? Tidak ada yang tahu persis. Namun, kain khas Manado ini diperkirakan sama tuanya dengan kebudayaan Minahasa.
Bentenan disebut kerap menyertai kehidupan adat suku Minahasa sebagai pakaian untuk berbagai upacara dan ritual penting, seperti:
- Pengobatan: kain dikenakan oleh pemimpin Minahasa yang zaman dahulu disebut Walian (pemimpin agama) dan Tonaas (pemimpin adat)
- Perang menghadapi musuh: Kain digunakan sebagai ikat pinggang dengan kepercayaan bahwa hal itu dapat mematahkan serangan/kebal senjata lawan.
- Membangun rumah
- Menentukan masa tanam
- Daur hidup: Kain menjadi pembungkus untuk bayi baru lahir, mas kawin untuk pernikahan, dan pembungkus jenazah.
Di samping itu, kain bentenan juga menjadi simbol status sosial dan tidak bisa lepas dari prinsip hidup masyarakat Minahasa. Melihat peranannya yang sangat penting, pembuatan kain bentenan di masa lalu pun terbilang sangat sakral.
Menurut sebuah tulisan dalam koran Tjahaya Siang terbitan 1880, penenun biasanya melantunkan nyanyian “Ruata” sebelum memulai proses penenunan.
“Ruata” sendiri berarti ‘Tuhan’, dan nyanyian itu merupakan bentuk permohonan kepada Tuhan agar mereka dapat menghasilkan kain yang indah.
2. Sejak Abad ke-7
Masyarakat Minahasa diperkirakan sudah mengenal kain dari kulit kayu (fuya) pada sekitar abad ketujuh. Kulit kayu yang digunakan berasal dari pohon lahendong dan sawukkuow.
Banyaknya interaksi dengan para pelaut yang menetap/singgah di Minahasa membuat masyarakat mulai mengenal kapas dan cara menenun benang. Dari sinilah mereka membuat pakaian tenun bentenan.
Di masa itu, kain khas Manado sudah dikenal sebagai salah satu kain berkualitas terbaik di dunia. Namun, proses pembuatannya rumit dan memakan waktu lama sehingga kain bentenan hanya dipakai oleh orang-orang tertentu di acara-acara tertentu saja.
2. Asal Nama
Kain bentenan dibuat di banyak wilayah di Minahasa, termasuk Tombulu, Tondano, Ratahan, dan Tombatu.
“Bentenan” sendiri rupanya berasal dari nama pelabuhan. Kata itu lebih tepatnya diambil dari nama pelabuhan utama sekaligus sebuah pulau dan teluk di Kabupaten Minahasa Tenggara, Sulawesi Utara.
Kenapa begitu? Sekitar abad 15–17, perairan Bentenan menjadi kawasan pelabuhan dagang dan transit bagi para pelaut yang hendak menuju Ternate—ada yang dari Maguindanao hingga Filipina Selatan.
Menurut peneliti etnografi, Jasper dan Pringadi, Pulau Bentenan diyakini menjadi lokasi penenunan kain bentenan pertama, sebelum menyebar ke Tombulu, Tondano, Ratahan, dan Tombatu. Di pulau itu juga kain bentenan ditemukan dan diekspor ke luar Minahasa.
3. Pernah Terlupakan
Setelah Belanda masuk ke tanah Minahasa untuk menyebarkan ajaran Kristen, perubahan sosial budaya banyak terjadi. Berbagai upacara, ritual adat, serta ritual keagamaan dihapuskan. Masyarakat mulai meninggalkan kebiasaan lama agar dianggap setara dengan orang Belanda.
Salah satu yang hilang adalah kebiasaan menenun kain bentenan. Masyarakat mulai merasa tidak nyaman menggunakan kain bermotif animisme, terutama mereka yang telah memeluk agama Kristen.
Di samping itu, masyarakat juga tidak ingin dianggap kuno dan lebih memilih menggunakan pakaian modern seperti orang-orang Belanda.
Lambat laun, kain bentenan mulai jarang digunakan hingga akhirnya menghilang. Semenjak saat itu, kebiasaan menenun kain bentenan benar-benar berhenti.
Akibatnya, jumlah kain khas Manado ini mulai menipis lalu menghilang selama lebih dari 200 tahun. Konon, banyak orang Minahasa yang bahkan tidak mengetahui keberadaan kain tradisional suku mereka.
Dalam beberapa literatur, kain tersebut terakhir kali ditenun sekitar tahun 1880 di daerah Ratahan. Produksinya hanya menyisakan beberapa lembar saja yang bertahan hingga sekarang.
Berdasarkan penelitian, saat ini masih ada sekitar 28 lembar kain bentenan yang tersisa di dunia dan tersebar di sejumlah museum. Lebih detailnya, tersisa 20 lembar jenis kain pinatikan yang tersebar di:
- Museum Nasional Jakarta sebanyak 2 lembar
- Tropenmuseum, Amsterdam, Belanda sebanyak 4 lembar
- Wereldmuseum Rotterdam, Rotterdam, Belanda sebanyak 7 lembar
- Weltkulturen Museum, Frankfurt, Jerman sebanyak 2 lembar
- Dresden Museum of Ethnology, Dresden, Jerman sebanyak 4 lembar
- Indonesisch Etnografisch Museum, Delft, Belanda sebanyak 1 lembar
Sementara itu, 8 lembar sisanya adalah kain kaiwu patola yang tersebar di:
- Museum Nasional Jakarta sebanyak 2 lembar
- Tropenmuseum, Amsterdam, Belanda sebanyak 4 lembar
- Wereldmuseum Rotterdam, Rotterdam, Belanda sebanyak 2 lembar
Pada 2006, Yayasan Kreasi Masyarakat Sulawesi Utara (Karema) berhasil memproduksi kain bentenan dalam bentuk print.
Gubernur Sulawesi Utara beserta seluruh kepala daerahnya kemudian menindaklanjuti langkah tersebut; PNS diwajibkan mengenakan seragam kain bentenan seminggu sekali.
Baca Juga: 15 Makanan Khas Sulawesi Tenggara yang Unik dan Pantang untuk Dilewatkan
Cara Pembuatan Kain Bentenan
1. Proses yang Rumit
Proses pembuatan kain bentenan terbilang rumit dan memakan waktu cukup lama. Kain khas Manado ini ditenun dengan teknik ikat ganda yang menghasilkan motif gambar halus, rumit, dan unik, tapi terkenal sukar dan jarang digunakan di daerah lain bahkan di dunia.
Untuk pewarnanya, suku Minahasa menggunakan zat pewarna alami dari tumbuhan yang hidup di sekitar wilayah Minahasa, seperti:
- Pohon taun dipakai untuk warna biru atau hijau, yang jika ditambah air kapur sirih bisa berubah menjadi warna hitam.
- Semak lenu (Morinda bracteata) menghasilkan warna kuning, yang akan berubah menjadi merah jika dicampur air kapur sirih.
- Lelenu (Peristrophe tinctoria) menghasilkan warna merah.
- Kulit sangket (Homalanthus populifolius) menghasilkan warna hitam.
Secara bertahap, pembuatan kain bentenan dimulai dengan pemintalan benang, lalu pengikatan, pewarnaan benang, dan penjemuran.
Selanjutnya, barulah kain akan ditenun tanpa terputus sampai berbentuk seperti sarung, lalu digulung membentuk tabung atau silinder.
Benang untuk bagian lebar kain (pakan) disebut sa’lange dan bagian memanjangnya (lungsi) disebut wasa’lene. Proses pembuatannya menggunakan alat tenun tradisional yang kini sudah punah alias tidak bisa kamu jumpai lagi.
2. Bahan yang Digunakan
Seperti disebutkan sebelumnya, kain bentenan dibuat menggunakan bahan alami, yaitu kulit kayu atau fuya. Kulit kayunya diambil dari pohon sawukkouw dan lahendong. Namun, ada juga yang terbuat dari serat bambu (wa’u), nanas (koffo), dan bahkan pisang.
3. Produksi Massal
Setelah hilang selama kurang lebih 200 tahun, kain bentenan kini kembali diproduksi, terutama di Manado dan Likupang. Hal ini pun mendapat sambutan meriah dari masyarakat Minahasa.
Pembuatannya sendiri dilakukan secara tradisional dan juga modern (printing). Hanya saja, kualitasnya tidak mampu menyamai kain bentenan di masa lampu.
Terlepas dari kualitasnya, kain bentenan bisa kembali eksis dan disosialisasikan kepada masyarakat Minahasa. Kamu juga bisa membelinya di toko-toko atau pusat oleh-oleh yang ada di Manado dan tanah Minahasa lainnya.
Bobocabin Kini Hadir di Bunaken!
Sudah tahu belum? Bobocabin kini hadir untuk memanjakan kamu dengan eksotisme Bunaken melalui Bobocabin Bunaken Hills!
Bertengger di antara hijaunya nyiur yang melambai, Bobocabin menawarkan pemandangan laut memukau yang bisa kamu saksikan langsung dari dalam kabin.
Keindahannya kian sempurna dengan suara ombak yang beralun lembut, angin laut yang menyegarkan, dan pemandangan Gunung Manado Tua yang menjulang di kejauhan.
Yuk, unduh aplikasi Bobobox dan amankan kabinmu segera!
Penulis artikel: Aidah Musyaropah
Foto utama oleh: museumnasional.or.id